Sabtu, 12 November 2011

Pidato Kebangsaan Wanda Hamidah Juli 2011, Gerakan Pasal 33 UUD 1945

Tema :

Kembalikan Bumi, Air, Udara dan kekayaan Alam Yang Terkandung Di Dalamnya untuk Kemakmuran Rakyat sesuai amanat pasal 33 UUD 1945.

BAB XIV
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 33

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berbicara pasal 33 UUD 1945 dan melihat realita kekinian, membuat jiwa kita geram, realitanya Kemakmuran Rakyat semakin menjauh dari jangkauan. Kemakmuran hanya dimiliki oleh para pemilik modal, kaum elitis, kaum borjuasi dan penguasa politik dan militer. Seringkali mereka mengatakan, kami juga bagian dari rakyat Indonesia yang memiliki hak yang sama dijamin konstitusi. Benarkah demikian. Siapa rakyat itu, apakah sekelompok elit 5% penduduk Indonesia yang menguasi kueh pembangunan 80%; dimana 95% penduduk Indonesia memperebutkan 20% kueh pembangunan. Inikah yang di cita-citakan oleh para pejuang kemerdekaan? Tulisan Prof Sri Edi Swasono tentang siapa rakyat menarik untuk kita simak :“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”.Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”.Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public needs” (yang berdimensi domain publik). Ini analog dengan pengertian bahwa “social preference” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “individual preferences”.Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu. Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood, bukan kinship) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei”, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).

Jadi, saat 5% penduduk menguasai kekayaan 80% ekonomi negara, diantaranya dengan menguasai kekayaan alam yang ada dalam bumi, air dan udara; patut kita duga, telah terjadi penghianatan kolektif terhadap amanat Konstitusi pasal 33 UUD 1945. Kenapa dikatakan kolektif, karena pemilik modal dengan kekuatan kapitalnya telah berkolaborasi dengan penguasa politik dan para intelektual pragmatis, merancang legitimasi hukum, mulai dari UU sampai dengan peraturan teknis di tingkat Kabupaten Kota ditempat objek kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak berada. Undang-undang yang menjadi bahan perdebatan dan sekaligus perjuangan banyak pihak yang peduli terhadap tegaknya pasal 33 UUD 1945, yaitu UU No.7/2004 tentang Sumberdaya Air, UU No.20/2002 tentang Ketenagalistrikan, dan UU Nomor 4.Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketiga UU ini membawa semangat privatisasi yang melibatkan swasta sebagai pemilik dan pengelola kekayaan alam tersebut.

Korban dari adanya privatisasi tersebut adalah penguasaan sumber daya air di Jakarta oleh 2(dua) perusahaan asing Lyonnaise dan Thames yang dilakukan sejak tahun 1998 sebelum penguasa orde baru jatuh. Semenjak berlakunya kontrak dengan dua perusahaan asing tersebut, pemerintah Provinsi DKI Jakarta jadi memiliki hutang sebesar Rp.900 Milyar yang harus dibayar dengan APBD DKI Jakarta setiap tahunnya. Hutang ini terjadi karena pemerintah provinsi DKI Jakarta melanggar pasal kontrak yang berbunyi : apabila pemerintah provinsi DKI Jakarta tidak mensetujui kenaikan harga tariff air, maka kedua operator asing akan membebankan selisih Water Charge (imbalan air) dan Tariff Air kepada Pemerintah DKI sebagai utang.Selain itu, terdapat kasus privatisasi kebablasan yang Di seluruh dunia hanya terjadi di DKI Jakarta, dimana masyarakat harus membayar tiket untuk menikmati keindahan alam lautan, yaitu di Ancol.

Penyimpangan pasal 33 UUD 1945 ini harus segera dihentikan, pemerintah wajib dingatkan, agar kembali kepada ruh pasal 33 UUD 1945, sepertikita baca Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 “… Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajad hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.Kalau tidak tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasinya …”.Dalam penjelasan ini, para bapak bangsa sudah memprediksi bahwa orang-orang yang berkuasa akan menyalahgunakan kekuasaan untuk melanggar UUD 1945, akan habis-habisan ber-KKN karena melalaikan asas kekeluargaan. Bukankah terjadinya ketidakadilan sosial-ekonomi terhadap rakyat karena tidak hidupnya asas kekeluargaan atau brotherhood  & sisterhood di antara kita? Dalam kebersamaan dan asas kekeluargaan, keadilan sosial-ekonomi implisit di dalamnya. Saatnya kita bersama-sama bahu membahu bergandengan tangan mengembalikan amanat konstitusi pasal 33 UUD 1945 : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasaihajat hidup orang banyak dikuasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Cukup sudah hak-hak rakyat dikebiri, waktunya “vox populi vox Dei” menjadi nyata.

Salam Rakyat Indonesia,

Wanda Hamidah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar